1. Pengertian Modal dan
Struktur Modal
Modal
adalah hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik perusahaan dalam pos modal (modal
saham), keuntungan atau laba yang ditahan atau kelebihan aktiva yang dimiliki
perusahaan terhadap seluruh utangnya (Munawir,2001). Modal pada dasarnya
terbagi atas dua bagian yaitu modal Aktif (Debet) dan modal Pasif (Kredit).
Menurur
William L. Megginson (1996) struktur modal merupakan komposisi atau gabungan
dari utang (debt) dan sekuritas (equity) yang nantinya akan menentukan struktur
keuangan jangka panjang suatu perusahaan. Penentuan struktur modal yang optimal
nantinya dapat menghasilkan keputusan financing perusahaan dengan financing
cost yang paling rendah. Selain itu, dampaknya bagi para investor adalah
nantinya mereka dapat dengan yakin meninvestasikan dananya pada financial
market, sebab dijamin investasi yang mereka lakukan akan menghasilkan imbal
hasil yang maksimum dengan resiko yang minimum.
Struktur
Modal adalah perimbangan atau perbandingan antara modal asing dan modal
sendiri. Modal asing diartikan dalam hal ini adalah hutang baik jangka panjang
maupun dalam jangka pendek. Sedangkan modal sendiri bisa terbagi atas laba
ditahan dan bisa juga dengan penyertaan kepemilikan perusahaan.
Struktur
modal merupakan masalah penting dalam pengambilan keputusan mengenai
pembelanjaan perusahaan. Untuk mengukur Struktur Modal tersebut maka dapat
digunakan beberapa Teori yang menjelaskan Struktur Modal dalam suatu
Perusahaan.
2.1 Teori Struktur Modal
1. Teori Modigliani-Miller Model
Teori
ini sebenarnya memiliki dua model yaitu tanpa pajak dan menggunakan pajak.
Dalam model Modigliani-Miller Model tanpa pajak teori diasumsikan bahwa
1. Resiko
bisnis perusahaan diukur dengan σ EBIT (Standard Deviation Earning Before
Interest and Taxes)
2. Investor
memiliki pengharapan yang sama tentang EBIT perusahaan di masa mendatang.
3. Saham
dan obligasi diperjual belikan di suatu pasar modal yang sempurna.
4. Seluruh
aliran kas adalah perpetuitas (sama jumlahnya setiap periode hingga waktu
tak terhingga). Dengan kata lain, pertumbuhan perusahaan adalah nol atau
EBIT selalu sama.
Dengan
asumsi-asumsi tersebut, MM mengajukan dua preposisi yang dikenal sebagai
preposisi MM tanpa pajak.
Ø Preposisi
I: nilai dari perusahaan yang berhutang sama dengan nilai dari perusahaan yang
tidak berhutang. Implikasi dari preposisi I ini adalah struktur modal dari
suatu perusahaan tidak relevan, perubahan struktur modal tidak mempengaruhi
nilai perusahaan dan weighted average cost of capital (WACC) perusahaan akan
tetap sama tidak dipengaruhi oleh bagaimana perusahaan memadukan hutang dan
modal untuk membiayai perusahaan
Ø Preposisi
II: biaya modal saham akan meningkat apabila perusahaan melakukan atau mencari
pinjaman dari pihak luar. Risk of the equity bergantung pada resiko dari
operasional perusahaan (business risk) dan tingkat hutang perusahaan (financial
risk).
Sedangkan
dalam teori Model Modiagliani-Miller menggunakan pajak yaitu asumsi yang diubah
adalah adanya pajak terhadap penghasilan perusahaan. Dengan adanya pajak ini,
MM menyimpulkan bahwa penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan
karena biaya bunga hutang adalah biaya yang mengurangi pembayaran pajak. Dalam
teori MM dengan pajak ini terdapat dua preposisi yaitu:
Ø Preposisi
I: nilai dari perusahaan yang berhutang sama dengan nilai dari perusahaan yang
tidak berhutang ditambah dengan penghematan pajak karena bunga hutang.
Implikasi dari preposisi I ini adalah pembiayaan dengan hutang sangat
menguntungkan dan MM menyatakan bahwa struktur modal optimal perusahaan adalah
seratus persen hutang.
Ø Preposisi
II: biaya modal saham akan meningkat dengan semakin meningkatnya hutang, tetapi
penghematan pajak akan lebih besar dibandingkan dengan penurunan nilai karena
kenaikan biaya modal saham. Implikasi dari preposisi II ini adalah penggunaan
hutang yang semakin banyak akan meningkatkan biaya modal saham. Menggunakan
hutang yang lebih banyak, berarti menggunakan modal yang lebih murah (biaya
modal hutang lebih kecil dibandingkan dengan biaya modal saham), sehingga akan
menurunkan biaya modal rata-rata tertimbangnya (meski biaya modal saham
meningkat).
Teori
MM tersebut sangat kontroversial. Implikasi teori tersebut adalah perusahaan
sebaiknya menggunakan hutang sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, tidak ada
perusahaan yang mempunyai hutang sebesar itu, karena semakin tinggi tingkat
hutang suatu perusahaan, akan semakin tinggi juga kemungkinan kebangkrutannya.
Inilah yang melatarbelakangi teori MM mengatakan agar perusahaan menggunakan
hutang sebanyak-banyaknya, karena MM mengabaikan biaya kebangkrutan.
2. Trade-off Teory
Menurut trade-off teory yang
diungkapkan oleh Myers (2001), “Perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat
hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan hutang
sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress)”. Biaya kesulitan
keuangan (Financial distress) adalah biaya kebangkrutan (bankruptcy costs) atau
reorganization, dan biaya keagenan (agency costs) yang meningkat akibat dari turunnya
kredibilitas suatu perusahaan.
Trade-off
theory dalam menentukan struktur modal yang optimal memasukkan beberapa faktor
antara lain pajak, biaya keagenan (agency costs) dan biaya kesulitan keuangan
(financial distress) tetapi tetap mempertahankan asumsi efisiensi pasar dan
symmetric information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang. Tingkat
hutang yang optimal tercapai ketika penghematan pajak (tax shields) mencapai
jumlah yang maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan (costs of financial
distress).
Trade-off
theory mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off
antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam penentuan struktur
modal. Perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi tentu
akan berusaha mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan rasio hutangnya,
sehingga tambahan hutang tersebut akan mengurangi pajak. Dalam kenyataannya
jarang manajer keuangan yang berpikir demikian. Donaldson (1961) melakukan
pengamatan terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika Serikat.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan tingkat
profitabilitas yang tinggi cenderung rasio hutangnya rendah. Hal ini berlawanan
dengan pendapat trade-off theory. Trade-off theory tidak dapat menjelaskan
korelasi negatif antara tingkat profitabilitas dan rasio hutang.
3. Pecking Order Theory
Menurut Myers (1984), pecking order
theory menyatakan bahwa ”Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi
justru tingkat hutangnya rendah, dikarenakan perusahaan yang profitabilitasnya
tinggi memiliki sumber dana internal yang berlimpah.” Dalam pecking order
theory ini tidak terdapat struktur modal yang optimal. Secara spesifik
perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi (hierarki) dalam penggunaan dana.
Menurut pecking order theory dikutip oleh Smart, Megginson, dan Gitman (2004),
terdapat skenario urutan (hierarki) dalam memilih sumber pendanaan, yaitu :
1. perusahaan
lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau pendanaan internal
daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba
ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan.
2. Jika
pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama kali mulai
dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah risikonya,
turun ke hutang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti obligasi
konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham biasa.
3. Terdapat
kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan jumlah
pembayaran deviden yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan
tersebut untung atau rugi.
4. Untuk
mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan deviden yang
konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan investasi, maka
perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia. Pecking
order theory tidak mengindikasikan target struktur modal.
Pecking
order theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan tidak
memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh
kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat menjelaskan mengapa
perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai
tingkat hutang yang kecil.
Dalam
kenyataannya, terdapat perusahaan-perusahaan yang dalam menggunakan dana untuk
kebutuhan investasinya tidak sesuai seperti skenario urutan (hierarki) yang
disebutkan dalam pecking order theory. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan
Hamid (1992) dan Singh (1995) menyatakan bahwa “Perusahaan-perusahaan di negara
berkembang lebih memilih untuk menerbitkan ekuitas daripada berhutang dalam
membiayai perusahaannya.” Hal ini berlawanan dengan pecking order theory yang
menyatakan bahwa perusahaan akan memilih untuk menerbitkan hutang terlebih
dahulu daripada menerbitkan saham pada saat membutuhkan pendanaan eksternal.
4. Teori asimetris Informasi dan
Signaling
Teori ini mengatakan bahwa dalam
pihak pihak yang berkaitan dengan perusahaan tidak mempunyai informasi yang
sama mengenai prospek dan resiko perusahaan. Pihak tertentu mempunyai informasi yang lebih dari pihak
lainnya. Teori ini terdiri dari Teori :
a. Myers dan Majluf
Menurut Teori ini ada asimetri informasi antara manger
dengan pihak luar. Manager mempunyai informasi yang lebih lengkap mengenai
kondisi perusahaan dibandingan pihak luar.
b. Signaling
Mengembangkan
model dimana struktur modal (penggunaan hutang) merupakan signal yang
disampaikan oleh manager ke pasar. Jika manager mempunyai keyakinan bahwa
prospek perusahaan baik, dan karenanya ingin agar saham tersebut meningkat, ia
ingin megkomunikasikan hal tersebut kepada investor. Manager bisa menggunakan
hutang lebih banyak sebagai signal yang lebih credible. Karena perusahaan yang
meningkatkan hutang bisa dipandang sebagai perusahaan yang yakin dengan prospek
perusahaan di masa mendatang. Investor diharapkan akan menangkap signal
tersebut, signal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik.
0 Response to "Struktur Modal"
Posting Komentar